Eksistensi Jurnalisme di Era Digital: Ancaman atau Peluang? Kajian dari HPN 2025 Riau
PEKANBARU,- Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, menggelar Sarasehan Nasional Media Massa bertema "Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital" menghadirkan sejumlah tokoh penting di dunia jurnalisme untuk membahas tantangan dan peluang jurnalisme dalam menghadapi disrupsi digital yang semakin pesat.
Dalam keterangan persnya, Senin (10/2/2025), sarasehan di salah satu hotel di Pekanbaru, Sabtu 8/2/2025, dihadiri pembicara terkemuka di dunia pers Indonesia, terdiri dari, Ketua Dewan Pengawas TVRI, Agus Sudibyo, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat, Nurjaman Mochtar, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, Dhimam Abror, Ketua PWI Jawa Barat, Hilman Hidayat.
Selain pembicara, diskusi yang dipandu oleh Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim, Djoko Tetuko tersebut hadir pula tokoh pers nasional seperti Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S. Depari, Asro Kamal Rokan, Dar Edi Yoga, Musrifah dan lainnya.
Ketua PWI Jawa Barat yang juga Direktur Promedia Teknologi Indonesia, Hilman Hidayat, mengungkap kekhawatirannya terkait masa depan jurnalisme di era digital dalam kondisi saat ini, banyak media online yang menghadapi serangan siber, dari berbagai pihak yang tidak terpikirkan sebelumnya.
"Tugas kita merawat marwah dari jurnalisme apakah jurnalisme di era digital masih cerah atau makin suram? Tapi jika melihat data yang saya kumpulkan kok makin suram," jelas Hilman.
Berdasarkan pengalaman, kata dia, sebanyak 40 ribu konten kreator dan wartawan yang memproduksi 15 ribu berita per hari. Telah banyak yang mendapat serangan dari hacker.
"Ada hal yang membahayakan kita untuk membangun paham jurnalisme. Paham jurnalisme yakni menyebarkan informasi berdasarkan data dan fakta secara objektif. Sementara dari pengalaman kami ada ribuan berita yang dihack oleh pihak-pihak tertentu dalam sebulan, serangan terhadap media online bisa mencapai ratusan mulai dari kepala desa sampai yang berseragam," katanya.
Ketua Dewan Pengawas TVRI dan mantan anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam pemaparannya mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai belanja iklan di Indonesia pada 2024 yang diperkirakan mencapai Rp 107,291 triliun, dengan dominasi iklan digital sebesar 44,1%.
"Data belanja iklan Indonesia 2024 total Rp 107.291 triliun dimana iklan digital sebesar 44,1%, media online 17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6%, retail media network 7,2%, dan media cetak 4,3%," sebut Agus Sudibyo.
Ia juga mencatat perusahaan besar seperti Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, sementara media nasional hanya memperoleh sisanya.
"Di tengah fenomena ini, kita perlu mempertanyakan, ke mana arah jurnalisme pers? Sementara saya yakin meskipun tantangannya besar, kebutuhan akan informasi berkualitas dan bertanggung jawab justru semakin besar," kata Agus.
Ia membahas konsekuensi dari fenomena ini bahwa Google dan Facebook menguasai sekitar 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, semakin menunjukkan bahwa media sosial dan platform digital menjadi kekuatan utama dalam perekonomian iklan di Indonesia, yang secara tidak langsung telah menantang eksistensi media mainstream.
Di balik fenomena itu, ia juga menyoroti sebuah hal yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan masyarakat terhadap informasi berkualitas dan bertanggung jawab yang semakin besar.
Meskipun media sosial terus berkembang dan semakin mendominasi, Agus menegaskan bahwa media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi media tradisional dalam menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi.
Ia pun memperingatkan tentang fenomena berita hoaks yang marak di media sosial, yang sering kali memecah belah masyarakat dan merusak integritas demokrasi.
"Tentu, kita tidak perlu terlalu khawatir karena di tengah disrupsi (sesuatu yang terlepas dari tempat asalnya, red) tetap ada kebutuhan yang kuat akan informasi berkualitas dan jurnalisme yang bertanggung jawab. Media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan masyarakat akan informasi yang mendalam dan berbasis fakta," ujarnya.
Secara global, ada kekhawatiran yang sama, yakni media sosial justru semakin memperburuk perpecahan di antara masyarakat, baik dalam hal agama dan politik.
Ia juga menyinggung pentingnya model distribusi konten yang adaptif dan menegaskan bahwa saat ini sangat tidak masuk akal jika ada media yang tidak menggunakan media sosial sebagai saluran distribusi konten.
Media sosial menjadi platform penting untuk menjangkau audiens yang lebih luas, dan media tradisional harus mampu memanfaatkan media sosial sebagai alat distribusi yang efektif tanpa kehilangan kualitas dan integritas informasi.
Terakhir, Agus menutup komentarnya dengan menyinggung fenomena yang disebutnya sebagai 'imperialisme digital' yang menggambarkan dominasi beberapa perusahaan teknologi besar dalam menguasai pasar digital global.
"Digitalisasi adalah fenomena global yang dihadapi semua negara tetapi surplus dari hasil digitalisasi ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar, terutama yang berasal dari satu atau dua negara saja," jelasnya.
Secara keseluruhan, Agus Sudibyo menegaskan bahwa meskipun media tradisional menghadapi tantangan berat di tengah disrupsi digital, jurnalisme yang berbasis pada etika, kualitas dan tanggung jawab tetap memiliki peran yang tak tergantikan.
Oleh karena itu, industri media harus terus beradaptasi dengan perubahan teknologi dan dinamika pasar, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat, yang juga pernah menjabat Pemimpin Redaksi di beberapa stasiun TV seperti SCTV/Indosiar dan juga salah satu pendiri TV One, Nurjaman Mochtar,
membahas peran jurnalis di era kecerdasan buatan (AI).
Menurut Nurjaman, 80% sumber berita konvensional kini berasal dari media sosial, dan semakin banyak instansi yang membuat konten berita sendiri melalui portal dan media sosial mereka.
Ke depan perusahaan atau instansi sumber berita akan membuat konten masing-masing serta menyimpannya di portal dan sosial media masing-masing, sebab dengan AI membuat narasi atau video berita bukan hal yang sulit lagi.
"Peran media mainstream ke depannya jangan-jangan hanya berfokus pada verifikasi konten dan pertanggungjawaban terhadap Dewan Pers.Tantangan ini, menurutnya, menuntut wartawan untuk lebih kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi," kata Nurjaman yang juga pernah Ketua Forum Pemred.
Pembicara lainnya, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, Dhimam Abror, menekankan pentingnya preservasi jurnalisme sebagai sarana untuk memperkuat demokrasi. Menurut Dhimam, ruang digital saat ini telah menjadi tempat yang sangat strategis untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi, terutama dalam memberikan informasi yang mendorong masyarakat untuk berpikir kritis.
Dhimam juga mengungkapkan bahwa media baru, yang lebih interaktif dan mudah diakses, telah membuka ruang bagi lebih banyak partisipasi masyarakat dalam proses komunikasi dan pemberitaan. Oleh karena itu, media harus tetap mempertahankan independensinya, akuntabilitas, dan keberagaman dalam menyampaikan informasi.
"Ruang digital kini memungkinkan masyarakat untuk berpikir lebih kritis terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama dalam ranah politik. Tetapi, kita harus memastikan kualitas informasi yang beredar tetap terjaga," ujar Dhimam.
Menurut Dhimam, media baru yang lebih interaktif membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi, tetapi hanya jika media tetap menjaga prinsip independensi dan keberagaman dalam menyampaikan informasi. (*)
Post a Comment