Kenapa Wartawan Menolak Revisi UU 32/2022 Tentang Penyiaran ?



Oleh: Dadang Hedrayudha.

Beberapa waktu yang lalu banyak jurnalis, mahasiswa, akademisi maupun aktivis HAM di berbagai daerah di Indonesia menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran karena dinilai terdapat dua pasal kontroversial di dalam draf RUU tersebut.

Penulis merangkum klausul di dalam RUU Penyiaran yang kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Misalnya, Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyebutkan KPI dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf (q) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.

Klausul itu dinilai bertentangan dengan Pasal 15 Ayat (2) Huruf D UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyatakan kewenangan menyelesaikan sengketa pers berada di Dewan Pers. Salah satu tugas Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Kemudian, sengketa pers bisa diselesaikan di  pengadilan. Pasal 15E mengatur bahwa sengketa yang timbul akibat keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Klausul lainnya yaitu larangan penayangan jurnalisme investigasi. Pasal 50B Ayat (2) huruf c pada pokoknya menyatakan Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi.

Pada Ayat (2) disebutkan, selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), SIS memuat larangan mengenai... (c) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Hal ini cenderung tumpang tindih dengan Pasal 4 huruf q UU Pers yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.

Selanjutnya, larangan penayangan konten LGBT. Pada Pasal 50B Ayat (2) huruf g menyatakan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender. Poin ini dinilai tidak berperspektif gender.

Kemudian, larangan penayangan soal pencemaran nama baik. Pasal 50B Ayat (2) huruf k menyatakan SIS juga memuat larangan mengenai penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan dan radikalisme-terorisme.

Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang selama ini menjadi acuan para insan media dalam menjalankan tupoksinya. Begitu pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, ketika menjalankan perannya, media massa harus memperhatikan dan mengingat fungsinya yaitu untuk menginformasikan, mendidik, menghibur dan pengawasan sosial (social control) pengawas perilaku publik dan penguasa.

Data yang dihimpun penulis, media massa merupakan sarana komunikasi massa yang berperan sebagai komunikator serta agen of change yakni pelopor perubahan dalam lingkungan publik yang dapat mempengaruhi khalayak melalui pesan berupa informasi, hiburan, pendidikan maupun pesan-pesan lainnya dan dapat dijangkau masyarakat secara luas.

Jika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, benar-benar telah dirubah dan disahkan oleh Pemerintah RI berarti Pers Indonesia sebagai pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, akan menjadi absurd, maka semangat reformasi terkait kebebasan pers akan kembali ke zaman orde baru.

*)Penulis: Wartawan kamangkaranews.com, anggota PWI Kabupaten Kuningan telah tersertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) oleh Dewan Pers.

Diberdayakan oleh Blogger.