Industrialisasi Jangan Merusak Masyarakat Adat


KUNINGAN (KN),- Aktivis hak-hak masyarakat adat, Nukila Evanty, mengatakan, industrialisasi di Indonesia jangan merusak masyarakat adat setempat yang sudah lama melestarikan kearifan lokal.


Hal itu dikatakan Nukila, kepada kamangkaranews.com, saat istirahat usai makan siang di salah satu rumah makan di kawasan Sangkanurip Kabupaten Kuningan, dalam perjalanannya ke Kabupaten Ciamis, Rabu (11/10/2023).


Nukila Evanty merupakan Representasi Indonesia di UN (United Nations) Forum on Indigenous Peoples  2022. Ia pun sebagai drafter (perancang) protokol untuk “Kesepakatan (Consent)  Antara  Bisnis dan Masyarakat Adat“ yang sudah diserahkan ke United Nations, di New York.


Nukila Evanty adalah Country Director RIGHTS dan penasehat lembaga Asia Centre yang berkantor pusat di Bangkok, Thailand dan penasehat pada Business and Human Rights Centre (BHRIGHT) di Universitas RMIT di Melbourne, Australia.


"Kabupaten/kota, termasuk Kuningan, tidak akan maju tanpa adanya industrialisasi. Apakah industri jasa perdagangan maupun manufaktur karena pesatnya industrialisasi meningkatkan ekonomi masyarakat dan PAD pemerintah daerah," katanya.


Menurutnya, industrialisasi akan memacu proses transformasi ekonomi dan sosial suatu negara atau wilayah ke arah pengembangan sektor industri yang lebih maju dan berbasis manufaktur.


Di dalamnya akan melibatkan pergeseran dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian atau agraris menuju sektor industri dan manufaktur yang lebih berkembang. Kendati demikian, industrialisasi jangan menghancurkan tatanan masyarakat adat atau di forum internasional yang disebut dengan Indigenous People.


"Itu merupakan bagian dari keberagaman masyarakat Indonesia sehingga seharusnya hidup masyarakat adat termasuk tanah, hutan, sosial budaya mereka dijamin dan dilindungi konstitusi sesuai dalam Pasal 18 B Ayat 2 (dua) UUD 1945," katanya.


Saat ini kedudukan masyarakat adat di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara  mengalami banyak kesulitan, masih banyak masyarakat adat terancam, mengalami ekstorsi (Extortion) dan terintimidasi.


Mereka diliputi kekhawatiran dan ketakutan, teraniaya, terusir dari tanah tempat kelahiran mereka sendiri, kehilangan dan terampas hak-haknya atas tanahnya yang disebut sebagai tanah ulayat.


Kehilangan air bersih, hutan yang telah dibabat habis, kehilangan sumber makanan yang biasa mereka dapatkan dengan mudah di tanah mereka sendiri akibat penguasaan tanah oleh para pebisnis dan investor. Tanah dan hutan bagi masyarakat adat adalah darah, jantung dan jiwa mereka.


"Bayangkan ketika investor masuk dan mengambil tanah dan hutan mereka padahal telah didiami dan diperjuangkan masyarakat adat  tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya," ujarnya.


Tanah dan hutan mereka telah beralih fungsi menjadi lahan untuk pertambangan, misalnya batu bara dan minyak bumi atau lahan pertanian seperti perkebunan sawit. 


"Provinsi Rau, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan adalah provinsi dengan luas perkebunan sawit terluas di Indonesia yaitu 3,38 juta hektar atau 20,68% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di 26 provinsi atau sebesar 16,38 juta hektar seperti dilansir dari data Keputusan Kementerian Pertanian Nomor 833/2019," katanya.


Dalam kajian dan kunjungannya ke beberapa masyarakat adat, ia melihat bagaimana masyarakat adat bergulat dengan kesulitan untuk mengaktualisasikan budaya dan tradisinya sendiri, akan terhenti dengan sendirinya dan tidak bisa diteruskan ke generasi berikutnya.


Ia juga pernah mengikuti banyak kasus dalam kampanye dan advokasi, misalnya tentang izin bagi perusahaan tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Dijelaskan, seharusnya pemerintah hanya memberikan izin kepada perusahaan yang tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan pada sumber air, tanah dan hutan. Mengajak masyarakat adat dan masyarakat desa untuk berdialog, berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan mereka dalam setiap pengambilan keputusan.


"Saya kira pebisnis apalagi perusahaan skala multinasional sudah mulai memahami prinsip-prinsip panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs)," katanya.


Tiga pilar UNGPs, bisnis itu harus melindungi, menghormati dan memulihkan sehingga pebisnis atau perusahaan harus menghindari terjadi pelanggaran hak masyarakat adat dan harus memberikan ganti atas kerugian yang diderita oleh korban sebagai dampak dari kegiatan bisnis.


Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih maksimal agar pebisnis untuk melakukan upaya menginternalisasi aturan mereka supaya lebih patuh menghormati hak-hak masyarakat adat, tak sekedar hanya mengeluarkan CSR (Corporate Social Responsibility) semua hal akan teratasi dengan baik.


Termasuk upaya yang lebih intens untuk mengadakan riset awal ke daerah tempat perusahaan beroperasi, apa saja budaya sosialnya, lakukan pendekatan dengan berdialog dan komunikasi, konsultasi dengan lebih efisien dan menjelaskan tanggung jawab pebisnis, manfaat bisnis tersebut untuk masyarakat secara transparan.


Sekarang sedang berkecamuk di Pulau Rempang yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Peristiwanya akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City. 


"Masyarakat Pulau Rempang menentang karena investor dan pemerintah akan menggusur atau memindahkan paksa sekitar 7.500 orang masyarakat adat Pulau Rempang yang setidaknya menghuni 16 kampung adat Melayu Tua yang eksis sejak 1843," pungkasnya.


Pewarta : deha.

Diberdayakan oleh Blogger.