Sherpa Track Presidensi G20 Indonesia
Oleh : Ayuningtyas
Widari Ramdhaniar, S.I.A., M.Kesos
“Presidensi G20 Indonesia Merupakan Kesempatan Sekaligus Tantangan Menjawab Kesiapan Kita Mencapai SDGs 2030”
Di penghujung tahun 2021 ini Indonesia mendapatkan kehormatan sekaligus dipercaya untuk memegang Presidensi G20, sebuah forum kerja sama multilateral berpengaruh yang beranggotakan 19 negara dan Uni Eropa.
Sebagai sebuah forum yang anggotanya menyumbang 90% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 80% perdagangan dunia, dua pertiga populasi dunia, dan separuh luas lahan yang ada di bumi.
Sehingga G20 merupakan platform strategis bagi Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” sesuai dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sementara kita juga masih bergelut untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) pada tahun 2030 mendatang.
Akan ada dua jalur pada pembahasan G20 nanti yaitu Finance Track yang membahas isu-isu di bidang ekonomi, keuangan, fiskal, dan moneter.
Serta Sherpa Track yaitu yang akan membahas isu-isu ekonomi non keuangan seperti energi, pembangunan, pariwisata, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, pertanian, perdagangan, investasi, industri, kesehatan, anti korupsi, lingkungan, dan perubahan iklim.
Saya lebih tertarik membahas Sherpa Track ini karena isu-isu ekonomi non keuangan ini ada di sekitar kita sehari-hari.
Bagaimana private sector atau perusahaan swasta memiliki kontribusi yang besar terhadap keberlangsungan bisnis mereka karena melibatkan tenaga kerja. Apakah sistem penggajiannya sudah sesuai atau belum dengan undang – undang, mengenai jam kerja, mengenai hak dan kewajibannya dan lain sebagainya.
“Presidensi G20 Indonesia Merupakan Kesempatan Sekaligus Tantangan Menjawab Kesiapan Kita Mencapai SDGs 2030”
Di penghujung tahun 2021 ini Indonesia mendapatkan kehormatan sekaligus dipercaya untuk memegang Presidensi G20, sebuah forum kerja sama multilateral berpengaruh yang beranggotakan 19 negara dan Uni Eropa.
Sebagai sebuah forum yang anggotanya menyumbang 90% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 80% perdagangan dunia, dua pertiga populasi dunia, dan separuh luas lahan yang ada di bumi.
Sehingga G20 merupakan platform strategis bagi Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” sesuai dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sementara kita juga masih bergelut untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) pada tahun 2030 mendatang.
Akan ada dua jalur pada pembahasan G20 nanti yaitu Finance Track yang membahas isu-isu di bidang ekonomi, keuangan, fiskal, dan moneter.
Serta Sherpa Track yaitu yang akan membahas isu-isu ekonomi non keuangan seperti energi, pembangunan, pariwisata, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, pertanian, perdagangan, investasi, industri, kesehatan, anti korupsi, lingkungan, dan perubahan iklim.
Saya lebih tertarik membahas Sherpa Track ini karena isu-isu ekonomi non keuangan ini ada di sekitar kita sehari-hari.
Bagaimana private sector atau perusahaan swasta memiliki kontribusi yang besar terhadap keberlangsungan bisnis mereka karena melibatkan tenaga kerja. Apakah sistem penggajiannya sudah sesuai atau belum dengan undang – undang, mengenai jam kerja, mengenai hak dan kewajibannya dan lain sebagainya.
Private sector ini memiliki peranan penting terhadap penyerapan lapangan pekerjaan di Indonesia dan dunia. Karena dengan penyerapan tenaga kerja yang maksimal di setiap daerah di Indonesia tentu saja efek dominonya adalah kesejahteraan masyarakat yang meningkat.
Hal ini masuk dalam pilar sosial SDGs yaitu Pilar Sosial (Tanpa Kemiskinan, Tanpa Kelaparan, Kehidupan Sehat dan Sejahtera, Pendidikan berkualitas, dan Kesetaraan Gender).
Bayangkan dalam satu pembahasan Tenaga Kerja bisa membahas langsung 5 point SDGs sekaligus, ditambah jika tenaga kerja tersebut ada perempuan di posisi strategis perusahaan bukan sebagai objek namun sebagai subjek.
Perempuan itu adalah konseptor, ide-ide besar muncul dari dirinya, penguasaan lapangan mampu diatasi, dan dapat memperkuat hubungan internal perusahaan serta membawa good image bagi perusahaan di luar.
Sebelum memberikan beasiswa kepada orang lain di luar kantor, perusahaan juga dapat memberikan beasiswa kepada karyawannya mereka, maka tercapailah SDGs no 4 yaitu Pendidikan Berkualitas, bukan hanya kepada tenaga kerjanya sendiri tapi juga keluarganya dan lingkungan unit bisnis perusahaan.
Sekarang kita bahas isu Energi yang memang menjadi banyak ladang uang bagi private sector, namun perlu diingat bahwa pada 2030 nanti batu bara sudah tidak dipakai lagi karena tidak ramah lingkungan, sehingga bagaimana kelangsungan pemilik bisnis tersebut?.
Menurut Kompas.com pada 21/10/21 Pemerintah berencana memberlakukan pensiun dini (early retirement) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mulai tahun 2030. PLTU tersebut akan diganti dengan energi yang lebih hijau atau energi baru terbarukan (EBT).
Hal ini menyusul komitmen Indonesia dalam National Determined Contribution (NDC) Paris Agreement. Dalam dokumen NDC, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Artinya hal-hal semacam ini jika tidak disosialisasikan dengan baik para pengusaha tidak siap dengan perubahan bisnis mereka, maka mereka juga bisa bangkrut. Maka perlu peralihan bisnis menuju Energi Terbarukan segera.
Kontribusi sektor energi yang ke depan akan menggantikan peran sektor berbasis lahan itu yang harus diperhatikan dengan baik.
Sementara kita tahu bisnis Energi Terbarukan membutuhkan biaya modal yang cukup besar, bagaima support pemerintah sendiri terhadap capaian upaya tersebut?.
Mobil listrik saja tidak disubsidi dan masih banyak beredar dijual mobil tidak ramah lingkungan dijual. Komitmen pemerintah juga harus jelas disini. Lalu penggunaan bio diesel sangat sedikit sekali besaran subsidi dari pemerintah untuk bisnis tersebut.
Dari pembahasan energi kita sudah bisa masuk ke isu yang lain juga yaitu perkebunan (kelapa sawit), industri bisnisnya, energi terbarukan ramah lingkungan, tenaga kerjanya, juga bahkan perdagangannya.
Untuk dimasa pandemi saat ini sektor pariwisata juga mengalami efek yang cukup signifikan dan banyak sekali tenaga kerja dari sektor pariwisata.
Diharapkan pembahasan G20 ini membawa kebijakan dunia mengenai pariwisata pasca pandemi Covid-19 ini agar lebih baik lagi.
Karena kunci negara aman dari keributan dan kerusuhan adalah lapangan pekerjaan untuk dapat membiayai hidup mereka, sekolah anak-anak mereka, makan, dan diharapkan juga konsumsi meningkat.
Kesehatan juga berpengaruh saat orang kehilangan pekerjaan maka dampak kesehatan pertama adalah psikologi mereka. Oleh karena itu, semua hal ini sangat berkaitan dan sangat penting dibahas dalam G20 nanti.
Penerapan Good Government Governance di sektor pemerintahan pun masih sekedar retorika dan belum terimplementasikan menyeluruh ke dalam diri mereka. Juga penerapan Good Corporate Governance pada sektor swasta.
Mungkin baiknya dihitung kembali pendapatan dan pengeluaran dari kalangan menengah sampai kalangan miskin.
Menurut pengamatan saya yang paling berdampak saat pandemi ini justru kalangan masyarakat menengah. Mau naik ke atas tidak mungkin mau turun ke bawah juga sulit karena tagihan cicilan dimana-dimana sementara penghasilan berkurang bahkan hilang.
Karena kalau kalangan masyarakat miskin setiap bulan dapat bantuan dari pemerintah minimalnya untuk makan mereka setiap hari pasti ada dan bisa.
Sementara kalangan menengah banyak yang tidak tahu bahwa di sekitar kita mau makan saja tidak ada uang namun mereka malu untuk mengungkapkan hal tersebut. Hal ini pula dampak dari korupsi yang merajalela di setiap sektor kehidupan kita.
Oleh karenanya, Indonesia memegang Presidensi G20 selama satu tahun penuh ini diharapkan adanya manfaat langsung yang dapat dirasakan karena pertemuan tersebut dilaksanakan secara fisik. Misalnya peningkatan konsumsi domestik, penambahan PDB nasional, pelibatan UMKM dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor.
Yang terpenting dari semua itu adalah mendapatkan kepercayaan dari investor global untuk melakukan percepatan pemulihan ekonomi dan mendorong kemitraan global yang saling menguntungkan.***
Penulis : Lahir di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, tinggal di Jakarta.
*
Post a Comment