Agrowisata Gunung Ciremai, “Dekat di Mata Jauh ke Hati”
SEJAK diserahkan Bupati
Kuningan periode 2003-2013, H. Aang Hamid Suganda, S.Sos kepada Balai Taman
Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) tahun 2004, kawasan Gunung Ciremai di Kabupaten
Kuningan tidak lagi menjadi tanggungjawab Pemkab Kuningan, baik pemeliharaan
maupun pemanfaatannya.
Perubahan status menjadi
taman nasional merupakan usulan Pemkab Kuningan melalui surat Nomor.
522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal Proposal Kawasan Hutan Gunung
Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Penyerahan berdasarkan
SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang
perubahan fungsi kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai
seluas 15.500 hektar di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional.
Petani di sekitar
kaki Gunung Ciremai dilarang bercocok tanam seperti huma dan lain sebagainya.
Bahkan mengambil dahan kering di tanah pun dilarang, karena hingga saat ini
tidak jelas mana Zona Ekonomi, Zona Penyangga dan Zona Hutan Lindung.
Dampak psikologisnya,
ketika terjadi kebakaran tidak semua masyarakat peduli. Bahkan “teriakan” BTNGC
pada saat meminta bantuan ke berbagai pihak, menjadi perbincangan yang tidak
sedap didengar.
Gunung tertinggi di Jawa
Barat itu posisi puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24'
00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda.
Kawah barat beradius 400
m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900
m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Puncak Gunung Ciremai menjadi lokasi favorit bagi para
pendaki.
Jalur pendakian diantaranya,
Kampung Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Desa Linggarjati dan Linggasana Kecamatan Cilimus, Desa Padabeunghar di perbatasan Kuningan - Majalengka dan Apuy Desa Argamukti Kabupaten Majalengka.
Keindahan alam Gunung
Ciremai dengan berbagai keanekaragaman hayati flora dan fauna menjadi daya
tarik bagi para penikmat wisata alam dan bisa dijadikan sarana rekreasi keluarga
maupun kegiatan kemping.
Sebelum dikelola BTNGC,
di Kabupaten Kuningan terdapat 7 obyek wisata alam, yaitu Buper (Bumi Perkemahan)
Palutungan dan Jalur Pendakian Desa Cisantana, Kolam Renang Cibulan Desa
Manis Kidul, Buper Cibunar, Jalur Pendakian Desa
Linggarjati, Buper Paniis Desa Paniis dan Telaga Remis
Desa Kaduela.
Sedangkan di Kabupaten
Majalengka ada dua, Situ Sangiang Desa Sangiang dan Jalur Pendakian Apuy Desa
Argamukti.
Setelah beralih ke
BTNGC, terjadi penambahan 15 obyek wisata baru, yakni Curug Lembah Cilengkrang
Desa Pajambon, Balong Dalem Desa Babakan Mulya dan Jalur Pendakian Desa
Linggasana, Track Lambosir dan Wood Land Hulu Ciawi Desa
Setianegara, Buper Desa Cibeureum, Buper Desa Singkup.
Tempat lainnya, Buper Desa Padamatang, Batu Luhur Desa
Padabeunghar, Situs Lingga Desa Sagarahiang, Buper Desa Trijaya, Situs
Cikajayaan Desa Pasawahan, Curug Desa Cibuntu dan Ipukan Desa Cisantana serta Kebun Raya Kuningan di Desa Padabeunghar Kecamatan Pasawahan (kerjasama dengan LIPI).
Namun berbeda
dengan di Kabupaten Majalengka, hanya bertambah empat, yaitu. Curug Cipeuteuy, Buper Awi Lega dana Buper
Leles Desa Bantaragung serta Buper Desa Argalingga.
Bisnis wisata alam di
lahan TNGC oleh swasta yang mengatasnamakan
Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar)
memang sangat menggiurkan
dan prospektif. Perputaran uang disana begitu cepat dan tak bisa “disentuh”
Pemkab Kuningan.
Misalnya saja Ipukan di
Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Informasi yang dihimpun, harga
tiket masuk @ Rp 15.000. Dalam kurun waktu satu minggu rata-rata 200 lembar tiket terjual, maka omzet yang diraup Rp 12 juta/bulan (Rp 144
juta/tahun).
Uang itu dialokasikan
sharing kontribusi ke BTNGC Rp 4 juta (Rp 48 juta/tahun). Kas Desa Cisantana Rp 400 ribu (Rp 4,8 juta/tahun). Kampung Palutungan Rp 800 ribu (Rp 9,6 juta/tahun). Dana kawasan Rp 800 ribu (Rp 9,6 juta/tahun). Pendapatan pengelola Rp 6 juta (Rp 72 juta/tahun).
Belum termasuk uang sewa lahan kepada pemilik warung-warung. Begitu pula pungutan liar parkir kendaraan yang tidak ada kewajibannya menyetorkan retribusi parkir
ke kas daerah. Untuk roda empat @ Rp 5.000 dan roda dua @ Rp 2.500.
Seandainya omzet wisata
alam yang berada di lahan TNGC semuanya dihitung, berapa ratus
juta pemasukan uang yang tidak ada kewajibannya memberikan kontribusi terhadap
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dan Majalengka.
Kendatipun usaha bisnis
wisata alam seperti jamur di musim hujan, namun kontribusinya diberikan kepada
pemilik lahan yaitu BTNGC. Sehingga di mata Pemkab Kuningan, kawasan
Gunung Ciremai “Dekat di Mata Jauh
ke Hati”.
Ironis memang, peluang PAD dari potensi di daerah sendiri
harus terhalang oleh perbedaan regulasi
antara Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kita berharap PNBP yang dihimpun BTNGC nantinya benar-benar
menjadi pendapatan negara
dan dipergunakan untuk kepentingan Bangsa Indonesia sesuai Undang-undang
Nomor
20 Tahun 1997.
BAB III Pengelolaan, Pasal 4, Seluruh Penerimaan Negara
Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara. Pasal 5, Seluruh Penerimaan Negara
Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pada akhirnya uang “penjualan
pesona
alam” Gunung Ciremai tersebut seharusnya dikembalikan lagi ke
daerah berdasarkan mekanisme tata kelola administrasi negara dalam APBN.
Seperti halnya Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membiayai
pembangunan infrastruktur maupun non infrastruktur di Kabupaten Kuningan dan
Majalengka. Semoga saja.
*) Dadang
Hendrayudha, dari berbagai sumber.
Post a Comment