Millenial dan Peranannya Dalam Pemilu
Menurut para peneliti sosial, generasi Y atau
Millennials lahir pada rentang tahun 1980an hingga 2000. Dengan kata lain,
generasi millennial ini adalah anak-anak muda yang saat ini berusia antara
21-38 tahun. Akhir-akhir ini generasi kita banyak diperbincangkan, mulai dari
segi pendidikan, moral, budaya, etika kerja ketahanan mental dan penggunaan
teknologi.
Semua itu karena generasi kita sangat jauh
berbeda dari generasi X dan baby boomer. Populasi
millennial dalam pemilu 2019 menurut data sekitar 40% dari populasi pemilih
yang terdata dalam daftar pemilih. Sehingga dengan jumlah yang cukup signifikan
ini peran millennial sangat dinantikan.
Segmentasi yang signifikan ini menjadikan
kaum millennial memiliki posisi yang seksi baik
dimata peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu. Di sisi peserta pemilu,
hampir mayoritas kontestan (partai politik maupun calon anggota legislatif)
sangat konsen terhadap kaum millennial.
Mereka berbondong-bondong membuat
sosialisasi, program dan aksi dengan memberi porsi yang dominan untuk
mendapatkan simpati atau respon dari kaum millennial. Di sisi penyelenggara
pemilu, kuantitas yang besar ini memiliki implikasi yang sangat signifikan
untuk meningkatkan tingkat partisipasi dalam pemilihan umum serentak ini.
Peran serta millennial dalam
Pemilu
Sebagai bagian dari masyarakat, millennial bisa
dikategorikan pada pemilih pemula dan pemilih muda, tentu kehadirannya harus
menempatkan diri sebagai subjek yang memberikan asas kemanfaatan dalam alam
demokrasi yang sedang berlangsung. KPU sebagai penyelenggara pemilu, banyak
membuat program yang difokuskan kepada kaum millennial.
Dalam PKPU 10 tahun 2018, pasal 5 ayat 1
huruf a objek sosialisasi yang difokuskan pada basis pemilih yang mencakup
pemilih pemula, muda, perempuan, marginal, keagamaan, kelompok berkebutuhan
khusus, kaum marginal, warga internet dan komunitas. Secara tekstual kata millennial tidak ditulis
secara gambling, namun secara faktual, basis-basis yang dijadikan objek
sosialisasi banyak dihuni oleh kelompok yang disebut millennial. Hal ini
diharapkan memberi motivasi dan ruang yang besar agar edukasi politik menjadi
bagian yang harus dipahami oleh millennial yang notabene banyak yang tidak
paham atau belum paham dengan politik.
Mengkonsolidasikan Budaya
Demokrasi
Budaya demokrasi dibagi
menjadi dari dua asal kata, yaitu budaya dan demokrasi. Tentunya dari kedua
kata ini memiliki arti yang jelas berbeda. Budaya yang berarti hasil akhir dari
pemikiran manusia yang melewati proses kebiasaan suatu kelompok manusia
tertentu di suatu lingkungan tempat tinggalnya.
Sedangkan demokrasi memiliki arti sesuatu
yang berkaitan dengan sistem kepemerintahan yang berkedaulatan rakyat, atau
dapat dikatakan segala keputusan dan kekuasaan tertinggi yang berhubungan
dengan negara berada ditangan rakyat. Dalam hal ini rakyat turut berpengaruh
kepada adanya keputusan keputusan apapun yang ada di dalam sistem kenegaraan
tersebut, karena dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Franz Magnis Suseno, ia berpendapat bahwa budaya
demokrasi harus dilandasi prinsip prinsip yaitu rakyat harus turut serta dengan
adanya berbagai sistem ke pemerintahan di suatu negara tertentu, adanya
kebebasan dalam memilih tanpa ancaman dari manapun, ia juga mengatakan bahwa
harus ada jaminan mengenai hak demokrasi yang dilakukan oleh rakyat, pemerintah
pun harus menghargai adanya pendapat apapun dari rakyat, dan tidak bisa
sewenang-wenang dalam memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan nasib suatu
negara.
Menjadi Pemilih Cerdas
Dalam pasal 198 UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu hanya
menyebutkan pemilih adalah WNI yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
lebih atau sudah/pernah kawin. Dalam menyalurkan hak pilihnya setiap warga negara
memiliki pertimbangan yang berbeda-beda. Ada kelompok pemilih pragmatis; ada
kelompok pemilih ideologis; ada kelompok pemilih primordialis dan kelompok
pemilih rasionalis (atau pemilih cerdas).
Esensi pemilih cerdas itu adalah masyarakat
yang berpartisipasi aktif pada proses demokratisasi negara, yaitu masyarakat
yang tahu dan sadar akan dirinya sebagai warga negara dan memiliki hak politik
termasuk pada pemilu. Bukan saja hadir memberikan suaranya, tapi pemilih yang
diharapkan mengetahui pilihannya dengan sadar sampai mengawasi proses
berlangsungnya pemilu yang adil dan jujur.
Kelompok pemilih cerdas idealnya bisa digambarkan pada
seluruh warga yang sudah memiliki hak politik/ hak pilih. Namun tentu tingkat
pendidikan, saluran informasi dan pergaulan sosial dapat membedakan
kategorisasi pemilih dalam pemilu ini. Oleh karena itu kaum millennial, yang
secara pendidikan, pergaulan dan akses informasi yang relatif bagus
diharapkan menjadi bagian dari kelompok pemilih rasional (cerdas).
Wallahua’lam
ditulis oleh Dudung Abdu Salam
Komisioner KPU Kabupaten Kuningan Divisi SDM,
Sosdiklih dan Parmas
Post a Comment